Seorang Al Akh bercerita, ada seorang ustadz ingin menda’wahi suku dayak pedalaman, mereka adalah suku yang tidak mengenal batas aurat. Hal yang biasa bagi mereka keluar rumah mengenakan celana dalam saja. Suatu hari, Al Akh ini bersama beberapa kawannya berkunjung ke rumah ustadz tersebut. Al Akh ini begitu terkejut, karena ustadz tersebut menyambutnya hingga ke luar rumah hanya mengenakan celana dalam saja. Ketika ditegur, ustadz itu mengira bahwa yang datang adalah orang-orang Dayak yang menjadi objek da’wahnya! Jadi, ia seperti itu agar lebih diterima di masyarakat Dayak.
Sementara itu, ada pula launching calon Gubernur Ibu Kota –agar lebih merakyat, pluralis, dan inklusif-di dalamnya ada hiburan musik bekerjasama dengan seorang enteirner ternama. Di antara beragam acaranya, akhirnya ada request dari penonton untuk menyanyikan dangdut, tanpa daya ditolak oleh panitia. Akhirnya terjadilah telah yang terjadi. Sang artis dangdut dengan segala kemaksiatan dan goyangannya. Sementara penontonnya adalah wanita berjilbab rapi, ibu-ibu pengajian, dan laki-laki yang faham agama. Sebagaimana yang santer diberitakan (detik.com), sebagian penonton ada juga yang berjoget ria. Manusia pun terheran-heran, sementara kaum pendengki semakin membencinya. Jika sudah seperti itu, maka tidak jelas lagi mana yang ikut joget atau tidak. Mana syetan, mana yang shalih? Tidak jelas! Yaa hasratan ’alal ’Ibaad! Betapa besarnya penyesalan hamba-hamba itu! Rasulullah Shalallahu ’Alaihi wa Sallam mencela dengan keras, bahkan teramat keras, bahwa wanita yang melenggak-lenggokan tubuhnya di depan laki-laki yang bukan mahram, jangankan surga, baunya pun tak dia dapatkan. Yang joget berdosa, penontonnya berdosa, pemrakarsa (tim sukses) acara berdosa. Lalu, jika itu diikuti tim sukses calon lain, maka yang pertama kali mengadakan akan terus mendapatkan akumulasi dosa dari yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa pihak yang mengikutinya. Sebagaimana hadits riwayat Imam Muslim. Entah, apakah ada pertimbangan fiqih da’wah? Dan fiqih da’wah model apa yang digunakan. Yaa Allah .... seandainya masyayikh da’wah seperti Syaikh Hasan al Banna melihat ini, atau Syaikh Said Hawa dan Syaikh Sayyid Quthb yang jelas-jelas mengharamkan penghasilan para artis, niscaya mereka akan mengingkari dengan teramat keras dan menyebutnya sebagai salah satu bentuk jahiliyah abad dua puluh! Alasan fiqih da’wah, tidak boleh menghalalkan yang jelas-jelas haram, seperti dangdut, dengan segala simbol maksiat yang ada di dalamnya, baik dengan joget atau tidak, sama saja. Sebenarnya bukan hanya dangdut, musik jahiliyah apa pun secara esensi sama saja, baik itu rock, pop, jazz, dan lain-lain. Masih bagus mereka bekerjasama dengan Opick, atau SNADA. Jika dikatakan: ”itu semua terjadi diluar kendali.” Maka, seharusnya siapa saja yang terlibat di dalamnya harus hati-hati, tidak lalai, memperhatikan halal-haram, serta memperhatikan nasib citra positif yang telah lama dibangun. Ini mengingatkan kami tokoh pemikir politik Barat dahulu, yakni Nicolo Machiaveli yang berprinsip tubarrirul washilah (menghalalkan segala cara) untuk mencapai tujuan politiknya. Inilah peringatan, sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang beriman. Sungguh, ini adalah marah karena Allah ’Azza wa Jalla. Hampir tiga puluh tahun da’wah dibangun oleh ribuan kader, jangan sampai dirubuhkan oleh segelintir manusia dengan tujuan sesaat. Bukankah aku telah menyampaikan? Allahummasyhad (Ya Allah saksikanlah!)
********
Kami pernah mengalami, berjalan bersama seorang ustadz di kampung kami tinggal, sekitar tahun 1997M. Saat itu selesai shalat tarawih, kami melewati sekelompok anak muda yang tengah asyik main catur, ternyata di antara mereka adalah keponakan dari ustadz ini. Marahlah ustadz tersebut, ia membanting papan catur, membuat para pemuda berlarian. Keesokan harinya, para pemuda ini bukannya surut, justru membuat berita miring tentang si ustadz dan remaja mesjid. Anak-anak muda tersebut bahkan menjadi musuh da’wahnya, lantaran sikap keras ustadz itu.
*******
Demikianlah dua gambaran berlawanan, kasus pertama dan kedua, adalah contoh untuk yang kebablasan, adapun yang ketiga adalah contoh untuk yang tatharruf (ekstrim).
Manhaj Tawasuth (pertengahan)
Inilah sikap yang kami ambil, semoga selamanya tidak bergeser dari manhaj ini. Termasuk dalam urusan da’wah. Karena demikianlah Islam sebenarnya dan –justru- menjadi musuh besar orang kafir. Sebab sikap ini, justru banyak diminati umat manusia, dengan pertumbuhan yang cepat, sehingga menjadi ancaman besar bagi Barat. Sementara yang keras, cenderung mempersempit dan mempersulit, atau yang kebablasan yang cenderung mengajak bebas nilai, paling tidak peluruhan nilai yang melewati ambang batas; justru semakin menepi dan marjinal.
Allah Jalla wa ’Ala berfirman:
“Dan Kami jadikan kalian sebagai umatan wasathan” (QS. Al Baqarah: 143)
Dalam Tafsir Ibnu Katsir ummatan wasathan berarti umat yang adil, pilihan dan terbaik. Dikatakan, “Quraisy adalah suku pertengahan di Arab secara garis keturunan (nasaban) dan negri tempat tinggal (Daaran), yaitu sebagai suku terbaik di sana. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga pertengahan (wasathan) di antara kaumnya, yaitu yang paling mulia nasabnya, darinya ada istilah shalat wustha yaitu shalat paling utama, yakni Ashar.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul Azhim, 1/190)
Penulis Syarh al Aqidah al Wasithiyah mengatakan, “Umat Islam adalah pertengahan antara agama-agama (milal), sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan kami jadikan kalian sebagai umat pertengahan (umatan wasathan).” (QS. Al Baqarah:143), sedangkan Ahlus Sunnah adalah pertengahan antara firaq (kelompok-kelompok) yang disandarkan kepada Islam. (Said bin Ali bin Wahf al Qahthany, Syarh al Aqidah al Wasithiyah Lisyaikhil Islam Ibni Taimiyah rahimahullah, hal.48. muraja’ah. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin. Cet.2, Rabiul Awal 1411H. Penerbit: Ri-asah Idarat al Buhuts al ‘Ilmiyah wal Ifta’ wad Da’wah wal Irsyad)
Khalifatur rasyid kedua, Umar al Faruq Radhialllahu ’Anhu berkata, ”Khairul umuur awsathuha.” (Sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan).
Apakah yang dimaksud dengan pertengahan itu? Yaitu kita berjalan di atas mizan (timbangan) dan pedoman yang sehat dan seimbang, tak ada keraguan di dalamnya, tak ada kebatilan baik dari depan atau belakangnya, tak ada yang bengkok baik ujung atau pangkalnya, yaitu manhaj Al Qur’an dan As Sunnah, dengan pemahaman umat pertengahan, yakni Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Allah Ta’ala berfirman:
“Kamu sekali-kali tidak akan melihat pada ciptaan Allah Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang.” (QS. Al Mulk: 3)
Fiqih Da’wah Terhadap yang Jelas-Jelas Haram
Terhadap perkara yang jelas-jelas mungkar, haram, bid’ah, khurafat, syirik, dan tak ada perselisihan para ulama tentang status hukumnya, maka fiqih da’wah kita adalah memeranginya, dengan cara hikmah dan pelajaran yang baik.
Dari Abu Said al Khudri Radhiallahu ’Anhu, aku dengar Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam bersabda: Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu rubahlah dengan hatinya. Itulah selemah-lemahnya iman. (HR. Muslim. Riyadhus Shalihin, Bab al Amr bil Ma’ruf wa An Nahyi ’an al Munkar,no. 184)
Ada beberapa syarat memerangi kemungkaran, yaitu kemungkaran tersebut harus yang jelas disepakati bukan masalah ijtihadi atau masih khilafiyah, dan kemungkaran itu harus nampak bukan dicari-cari.
Beberapa contoh kemungkaran yang qath’i (pasti) seperti lokalisasi pelacuran, perjudian baik cara tradisional atau modern dengan undian berhadiah atau kirim SMS, konser-konser musik jahiliyah dengan penonton yang campur baur laki-laki dan perempuan, minuman keras, mengambil harta secara tidak hak seperti korupsi, mencuri atau merampok, perdukunan dan sihir. Masih banyak yang lain.
Bagi yang mampu merubah dengan tangan yakni kekuatan seperti waliyyul amri (pemerintah) maka ubahlah dengan kebijakan, undang-undang, atau dengan aparat keamanan yang Anda miliki.
Bagi para da’i ubahlah dengan seruan-seruan, kajian, tadzkirah (peringatan), diskusi, seminar, atau mengingatkan waliyyul amri tentang tugasnya menciptakan keamanan dan kenyamanan hidup, dan bebas dari segala penyakit sosial. Bagi yang bisa menulis, maka tulislah peringatan melalui bulletin, majalah, buku, atau selebaran. Bagi yang tidak bisa apa-apa, maka ubahlah dengan hati Anda, yang penting Anda tidak menyetujuinya, apalagi terbawa arusnya. Itulah selemahnya iman.
Ketetapan Islam yang telah menjadi aksioma, selamanya tidak akan berubah. Keharaman khamr adalah abadi, sedikit atau banyak, sampai mabuk atau tidak, dan berlaku dimana saja, Anda di kutub atau di gurun. Riba adalah haram, sedikit atau berlipat-lipat. Kewajiban menutup aurat juga berlaku abadi dan di mana saja, tidak ada perubahan, walau berda’wah kepada kaum berkoteka. Selamanya lenggak lenggoknya wanita di depan laki-laki bukan mahram adalah haram, apa pun keperluannya, akting, kampanye, apalagi sengaja memancing syahwat laki-laki. Masih banyak ketetapan lainnya.
Adapun yang bisa berubah karena perubahan kondisi, keadaan, dan zaman, adalah hal-hal yang sifatnya ijtihadi dan zhanni, atau yang tidak ada pembahasan sama sekali di dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Intinya kemungkaran harus dihilangkan dengan cara yang baik dan terbaik, disesuaikan dengan kemampuan, kondisi masyarakat, dan kalkulasi dampaknya.
Allah Jalla wa ’Ala berfirman:
”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An Nahl (16): 125)
Kemungkaran yang bisa dihilangkan lalu diganti dengan yang lebih baik, maka hukumnya wajib kita mengubahnya. Kemungkaran yang berkepanjangan yang bisa dirubah menjadi kemungkaran yang le bih singkat, maka wajib kita merubahnya. Kemungkaran yang dirubah namun lahir kemungkaran baru yang sama, maka silakan berijtihad untuk merubah atau tidak. Kemungkaran yang dirubah namun justru melahirkan kemungkaran yang lebih besar, maka haram dilakukan perubahan. Demikianlah kaidah emas dalam urusan inkarul munkar.
Fiqih Da’wah Terhadap yang Jelas Kebolehannya
Pada dasarnya hukum asal segala sesuatu di dunia adalah halal dan suci. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Dialah yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kalian.” (QS. Al Baqarah (2): 29)
Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam bersabda:
”Yang halal adalah apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, dan yang haram adalah apa-apa yang Allah haramkan dalam kitabNya. Maka, apa-apa yang didiamkan olehNya, maka itu termasuk yang dimaafkan olehNya.” (HR. Tirmidzi)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ”Asal segala sesuatu –dengan segala perbedaan bentuk dan sifatnya- adalah halal secara mutlak bagi anak Adam, suci, dan tidak diharamkan atas mereka untuk menyentuh atau memegangnya.”
Para ulama juga membuat kaidah, Al Ashlu fil Asyya al Ibahah illa ma warada ‘anis Syaari’ tahrimuhu. Hukum asal segala sesuatu adalah boleh kecuali ada dalil dari pembuat syariat tentang haramnya.
Intinya, bidang yang dihalalkan sangat luas dan banyak, dibanding yang diharamkan atau dilarang. Maka, sudah selayaknya kita menyikapinya dengan tidak mempersempit dan mempersulit apa-apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla lapangkan.
Sesuatu disebut boleh atau halal (dalam urusan dunia, bukan ritual ibadah), jika ia; tidak ada dalil yang melarangnya, tidak bertentangan dengan dalil khusus atau umum syariat Islam, tidak membawa mudharat atau membahayakan baik untuk pribadi atau orang lain, tidak berlebihan atau melampaui batas, tidak bertentangan dengan kaĆdah-kaidah pengharaman.
Ada tradisi baik di sebagian tempat yaitu membagikan makanan ke tetangga menjelang hari raya, bahkan tradisi ini sesuai dengan akhlak Islam agar kita memuliakan tetangga. Namun, lebih baik lagi jika hal itu tidak harus menunggu menjelang hari raya. Tradisi arisan, sebenarnya ini sesuai dengan akhlak Islam untuk saling menyambung silaturrahim dan ta’awun sesama muslim, selama di dalamnya tidak ada ngerumpi (ghibah).
Ini semua adalah contoh apa-apa yang Allah ’Azza wa Jalla diamkan dan maafkan. Sikap kita adalah membuka peluang untuk terjadinya. Walau bisa jadi kita ingin menjadi pribadi wara’ dengan menghindari yang mubah agar terhindar dari hal yang haram (baca: Sadudz Dzara’i), maka lakukanlah hal itu tanpa memaksakan kepada orang lain.
Fiqih Da’wah Terhadap Perkara yang Masih Diperselisihkan
Ada perkara yang telah disepakati keharamannya, ada pula yang disepakati kehalalannya. Adapun perkara yang masih medan perdebatan para ulama tentang sebuah amal atau hal, maka sikap kita adalah tasamuh (toleran). Tidak boleh saling mengingkari, menuduh, menodai kehormatan, bahkan menyerang secara fisik. Kita dibenarkan untuk mencari lalu mengikuti apa-apa yang lebih kuat dan argumentatif menurut pandangan ulama tertentu, tetapi tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain, selama perbedaan tersebut masih dalam ruang lingkup furu’ fiqh, bukan masalah aqidah.
Syaikh Ibnu Baz berpendapat bahwa bersedekap ketika i’tidal adalah sunnah, sebaliknya Syaikh al Albany menyatakan itu bid’ah. Dua kesimpulan yang amat berseberangan. Namun keduanya tidak saling menyerang, mereka lapang dada satu sama lain.
Dalam masalah perdamaian Palestina dengan Israel pada medio 90-an, Syaikh Ibnu Baz membolehkan, sedangkan Syaikh al Qaradhawy melarangnya. Keduanya saling memberikan tanggapan dalam bentuk tulisan, dengan bahasan yang ilmiah dan perkataan yang santun dan saling memuji. Namun sayangnya, justru yang rewel adalah bawahannya.
Tentang haramnya catur, para ulama berselisih pendapat. Imam Ibnu Hajar mengatakan hadits-hadits yang mengharamkan catar tak satupun yang tsabit (kokoh). Ada pun, Imam Ibnu Qudamah mengatakan haramnya catur karena analogi (qiyas)dengan dadu (nard). Imam Asy Syafi’i menyebutkan bahwa dahulu ada sahabat dan tabi’in yang memainkannya. Namun, Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu pernah marah dengan orang yang main catur, lalu mengutip firman Allah surat Al Anbiya (21) ayat 52:
"Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadah kepadanya?”
Begitu pula masalah isbal (menjulurkan celana atau kain sarung melebihi mata kaki), para ulama berselisih pendapat. Ada yang mengharamkan baik dengan atau tanpa sombong (khuyala). Imam Asy Syafi’i sendiri sekadar memakruhkan saja. Ada pun Imam Ibnu Abdil Bar menyebutkan bahwa masalah pakaian tergantung tradisi disebuah daerah, tentu selama menutup aurat.
Nah, tentu perselisihan para ulama dalam zona khilafiyah, harus disikapi secara elegan dan dewasa. Sebagaimana yang dicontohkan para ulama salafus shalih. Sikap keras dalam masalah seperti ini, tidak akan membawa dampak apa-apa kecuali perlawanan dari yang berbeda.
Wallahu A’lam wa Lillahil ’Izzah
Sumber : perisaidakwah.com
oleh : Farid Nu'man